Dalam konteks politik Pilgub NTT 2024, argumen yang diajukan oleh Juan Pesau terkait pentingnya keseimbangan representasi suku dan wilayah dalam pemilihan kepala daerah perlu mendapat tinjauan kritis. Prinsip keseimbangan ini, meski historis dan relevan pada masanya, bukanlah satu-satunya cara untuk memastikan kebijakan yang inklusif dan berorientasi pada kepentingan masyarakat luas.
Menggugat Paradigma Lama: Apakah Keseimbangan Representasi Masih Relevan?
Logika yang menyatakan bahwa kepemimpinan hanya bisa inklusif jika ada keseimbangan suku dan wilayah perlu ditantang. Keseimbangan representasi tidak secara otomatis menjamin bahwa kebijakan yang dihasilkan oleh pemimpin akan inklusif. Dalam sejarah pemerintahan daerah, kita telah menyaksikan banyak pemimpin yang, meskipun berasal dari wilayah atau suku yang berbeda, gagal menerapkan kebijakan yang merata dan adil bagi semua kelompok. Hal ini membuktikan bahwa asal-usul suku atau wilayah bukanlah indikator yang memadai untuk menilai potensi inklusivitas seorang pemimpin.
Sebaliknya, inklusivitas harus dilihat dari komitmen, visi, dan kemampuan pemimpin untuk merangkul seluruh lapisan masyarakat, terlepas dari latar belakang suku dan geografis. Melki Laka Lena dan Johni Asadoma, sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, membawa misi yang jelas untuk menjauhkan politik dari isu SARA. Mereka berfokus pada program-program yang menyentuh seluruh masyarakat NTT, tanpa membedakan asal-usul atau identitas kelompok.
Komitmen pada Program dan Kebijakan Inklusif
Melki Laka Lena dalam berbagai kesempatan telah menegaskan pentingnya menghindari politik identitas yang bisa memecah belah masyarakat. Pesannya sangat jelas: keberhasilan pemimpin tidak diukur dari keseimbangan suku, tetapi dari kemampuan mewujudkan kebijakan yang berkeadilan dan merata bagi semua. Ini adalah bentuk kepemimpinan yang berani, yang menempatkan visi dan program di atas perbedaan etnis atau wilayah.
Bahkan, dalam berbagai studi tentang kepemimpinan daerah yang berhasil, kita melihat bahwa pemimpin yang fokus pada substansi program lebih cenderung berhasil dalam menciptakan kebijakan inklusif. Sebagai contoh, beberapa kepala daerah yang bukan berasal dari latar belakang mayoritas suku atau wilayah tertentu mampu melahirkan kebijakan yang berkeadilan dan diterima luas. Hal ini menegaskan bahwa inklusivitas bukan soal keseimbangan identitas suku, melainkan soal komitmen dan tindakan nyata.
Kepemimpinan Modern: Mengutamakan Kebijakan, Bukan Identitas
Di era modern, keterwakilan suku dan wilayah tidak lagi menjadi standar utama untuk menentukan kualitas kepemimpinan yang inklusif. Kualitas programatik dan keberpihakan terhadap masyarakat luas jauh lebih penting. Melki-Johni telah membuktikan bahwa visi mereka berfokus pada kemajuan seluruh NTT, terlepas dari asal-usul wilayah mereka. Kebijakan yang mereka usulkan, seperti pembangunan infrastruktur merata, peningkatan akses kesehatan dan pendidikan, serta penguatan ekonomi lokal, adalah bukti nyata dari komitmen mereka terhadap semua lapisan masyarakat.
Apakah paket Melki-Johni tidak memenuhi prinsip keseimbangan? Tentu saja tidak. Johni Asadoma yang berasal dari Alor tetap mewakili keragaman NTT, meskipun mungkin tidak dalam kerangka keseimbangan tradisional. Fokus mereka adalah pada bagaimana menciptakan kepemimpinan yang bisa bekerja sama lintas suku, lintas wilayah, dan lintas latar belakang, bukan pada perdebatan sempit tentang representasi identitas.
Menjawab Tantangan Masa Depan
Pada akhirnya, keseimbangan representasi suku dan wilayah hanyalah satu aspek dari politik NTT yang sudah waktunya direvisi. Kepemimpinan yang modern dan inklusif bukanlah tentang asal-usul, tetapi tentang visi, kebijakan, dan komitmen nyata untuk merangkul semua golongan. Pemimpin yang mampu memahami ini, seperti Melki Laka Lena dan Johni Asadoma, layak mendapat tempat dalam sejarah politik NTT yang baru.
Jika kita terus bertahan pada paradigma lama, kita justru akan membatasi potensi NTT untuk berkembang dengan cara yang lebih progresif. Waktunya telah tiba untuk menilai kepemimpinan bukan dari identitas, tetapi dari kemampuan mereka menciptakan kebijakan yang benar-benar inklusif.
Penulis adalah Ketua DPD Projo NTT dan Kader PRIMA NTT