Seluruh tradisi yang lahir dari rahim kebudayaan Bangsa Samudra menyimpan nilai luhur yang disebut AKAL BUDI.
Peradaban SAMUDRA sebagai genealogi Bangsa Indonesia harus diperdengarkan kembali dalam merumuskan gagasan Kebudayaan Nasional.
Disadari kembali, sejak semula telah ada keinsyafan bahwa titik pijak sejarah Bangsa Indonesia bukan hanya TANAH, melainkan juga AIR. Tanah Air Indonesia. Dalam hal ini merujuk kepada SAMUDRA. Kita adalah Bangsa Samudra!
Kesadaran ini bukan muncul tiba-tiba, melainkan narasi yang dibangun di atas landasan historis dan geografis.
Bentangkanlah peta Kepulauan Indonesia…
Berada di antara hamparan dua samudra–pertemuan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik—Kepulauan Indonesia pada masa lampau disebut Kepulauan Hindia. Indie Archipelago.
Sebagai anak Kepulauan Indonesia, kita masih mengingat pidato Presiden Soekarno sewaktu membuka Institut Angkatan Laut (IAL), pada 1953 di Surabaya…
“…Usahakan penyempurnaan keadaan kita ini dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan.
Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali.
Ya…, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya.
Bukan sekadar menjadi jongos di kapal. Bukan!
Tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudera.
Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga.
Bangsa pelaut yang mempunyai armada militer.
Bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri“.
Dan kita juga belum lupa pada pidato Presiden Soekarno pada 23 September 1963, yang diberinya judul “Kembalilah Mendjadi Bangsa Samudera”, manakala membuka Musyawarah Nasional Maritim I, di Jakarta…
“
Kita ini dahulu benar-benar bangsa pelaut. Bahkan bangsa kita ini sebenarnya tersebar melintasi lautan dari satu pokok asal. Tersebar melintasi lautan, mendiami pulau-pulau antara pulau Madagaskar dan pulau Paskah dekat Amerika Selatan.
Melewati beribu-ribu mil, melewati samudera, bahar, yang amat luas sekali. Di situlah bersemayam sebenarnya bangsa Indonesia…
Mengenai laut, yah perahu-perahu yang bersayap. Out-wriggled boats, kata orang Belanda vlerkprauwen. Out-wriggled boats, saudara tidak akan temukan perahu bersayap itu misalnya di Amerika atau di Polandia atau di Jepang atau di Eropa, tidak.
Saudara akan temukan out-wriggled boats, vlerkprauwen, perahu sayap di Madagaskar, di Kepulauan Indonesia, di Polynesia sampai pulau Paskah.
Ini semua menunjukkan bahwa kita itu adalah sebenarnya satu gugusan bangsa, antara Madagaskar dan pulau Paskah.
…
Dengan perahu bercadik, perahu bersayap itu, leluhur bangsa Indonesia pada zaman dahulu kala…
betul-betul laksana sea hawk, sacral bahar, saker elbaher, havik van de zee, hawk on the sea. Hawk on the sea, kita terbang dari satu pulau ke pulau lain.
Jang kita maksudkan dengan perkataan zaman bahari ialah zaman purbakala, zaman dahulu, zaman kuno.
Zaman jang lampau itu kita namakan zaman bahari. Apa sebab?
Sebabnja ialah kita di zaman yang lampau itu adalah satu bangsa pelaut.
Bahar, elbaher artinya laut. Zaman bahari berarti zaman kita mengarungi bahar, zaman kita mengarungi laut, zaman tatkala kita adalah bangsa pelaut.”
“
Dan belum lama ini, saat baru saja terpilih menjabat Presiden Republik Indonesia pada 2014, Joko Widodo berpidato di geladak kapal phinisi, di pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta…
“
Kita juga ingin hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, dengan martabat, dengan harga diri. Kita ingin menjadi bangsa yang bisa menyusun peradabannya sendiri. Bangsa besar yang kreatif yang bisa ikut menyumbangkan keluhuran bagi peradaban global.
Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudera, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, memunggungi selat dan teluk.
Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga jalasveva jayamahe, di laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana.
”
Pidato pamungkas Presiden Joko Widodo masih terngiang-ngiang. Dan kita betul-betul kembali mengingatnya ketika presiden terpilih 2024, Prabowo Subianto menyatakan akan melanjutkan apa yang sudah dimulai Presiden Jokowi. Apalagi, di musim yang ini akan dibentuk pula Menteri Kebudayaan.
Ini kemajuan penting dalam perjalanan sejarah berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia.
Bahwa Kebudayaan tidak berada di bawah pendidikan; Kebudayaan tidak berada di bawah pembangunan ekonomi kreatif; Kebudayaan tidak berada di bawah pariwisata.
Kabar gembira. Suatu perasaan yang tak terlukiskan menyimak diskusi Menyongsong Kementerian Kebudayaan yang semarak pada hari-hari belakangan ini.
Tradisi: Pusaka yang Tak Lapuk dimakan Hujan, Tak Lekang dimakan Panas
Istilah tradisi sebagai kebiasaan turun temurun kerap digunakan untuk menggambarkan produk-produk kebudayaan yang telah berjalan sejak dahulu kala. Sebagian orang punya asumsi bahwa yang tradisi adalah kuno, dan menganggapnya sudah tidak relate, bahkan kehilangan relevansi dengan konteks kekinian.
Alih-alih tidak relevan, sesungguhnya yang terjadi adalah kegagalan kita melakukan encoding-decoding terhadap kode budaya masa silam yang memiliki diskursusnya sendiri sejak dari simbol, aksara, mantra dan lain sebagainya yang diwarisi pada ritus dan situs yang berjejak di Kepulauan Indonesia. Dari Puncak Gunung hingga pantainya.
Sejak disahkannya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, Indonesia sebagai negara bangsa kian jauh terus berupaya menyelami “kode-kode” dari tradisi kebudayaan yang terenkripsi secara rapi, yang sangat canggih pada masanya.
Ke depan, yang diperlukan bagi Pemajuan Kebudayaan, lebih dari sekadar perlindungan, revitalisasi, atau seremoni semata. Kita perlu melakukan penggalian dan sederet upaya serius untuk menatap kembali makna dari bentangan budaya melalui tradisi yang begitu kaya untuk kemudian dapat kian memperkaya khasanah budaya Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur.
Karena anak cucu kita berhak tahu asal-usulnya. Paham sejarah bangsanya. Dan bangga akan nilai-nilai budi luhur yang terkandung dalam tradisi budayanya. Bangsa yang mengabaikan itu semua, ibarat pohon tanpa akar.
Berakar pada kelampauan, sejatinya seluruh tradisi yang lahir dari rahim kebudayaan Bangsa Samudra menyimpan prinsip luhur yang disebut AKAL BUDI dan keselarasan alam raya.
Seluruh tradisi leluhur Bangsa Indonesia yang berjejak di puncak-puncak gunung, dari mata-mata air, menghilir di sepanjang sungai hingga tepian pantai, dan lalu mudra mencapai samudra, yang beragam-ragam rupa itu sejatinya seragam; perlambang “ucapan” maaf kepada segenap isi alam, dan berterima kasih kepada semesta.
Menelisik lapisan terdalam pengetahuan tua yang disimpan dari sekian banyak tradisi tua sepanjang Tanah Air Indonesia, diperoleh satu kesimpulan bahwa puncak-puncak kecerdasan jiwa adalah AKAL BUDI. Dan puncak-puncak kecerdasan raga juga AKAL BUDI.
Akal Budi. Bukan sekadar akal. Melainkan akal yang dipandu oleh budi. Ia satu kesatuan. Puncak-puncak AKAL BUDI inilah yang disebut KEBUDAYAAN.
Bila AKAL BUDI yang menjadi suluh benderang dalam negeri, di titik inilah manusia menyadari bahwa tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit “berada” dalam diri manusia; Mandala Kasungka, Mandala Seba, Mandala Raja, Mandala Wening, Mandala Wangi, Mandala Agung, dan Mandala Hyang.
Meski lain ladang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya, pada ketujuh Mandala inilah situs (tapak-tapak tua negeri; seperti punden, candi dsb) serta ritus (tradisi) kebudayaan Bangsa Samudra berpedoman.
AKAL BUDI letaknya pada Mandala Agung. Dan KEBUDAYAAN yang berada di puncak selaku “tali penghubung “ buana alit dan buana agung adalah Mandala Hyang.
Sanak-saudara…, inilah waktunya menanam benih yang cocok untuk tanahnya…
Untuk itu kita butuh narasi. Narasi yang dimaksud, entah yang sudah lama ada, atau membuat “sejarah” baru. Yang nilainya tak lepas dari filosofi AKAL BUDI, sebagai pandu kebudayaan. Dan kita bisa mengkomunikasikannya kepada dunia.
Negara sudah maju melindungi situs yang diwarisi leluhur. Dan ritus sebagai tradisi. Bukan sekadar konteks dilestarikan. Tapi, memang dihidupkan kembali. Mengingat kejadian yang sudah-sudah, untuk menghidupkan kembali ritual dan nilai-nilai leluhur, di sejumlah daerah kita bertabrakan dengan keyakinan baru yang menganggap ritus leluhur itu musrik dan segala macamnya.
Ini perlu diselaraskan. Sebab, bila berpedoman kepada Akal Budi, tidak ada tempat untuk saling merasa paling benar, apalagi saling menyalahkan.
Terkait pariwisata, mudah mencitrakan Indonesia sebagai Bangsa Samudra, Bangsa Pelaut, sebagai Poros Maritim Dunia. Karena secara bentang alam, memang begitulah adanya.
Tapi, begitu orang dari luar datang kemari, apa yang dia lihat, pengalaman apa dari pelesiran ke Poros Maritim Dunia?
Dengan adanya Kementerian Kebudayaan, negara bisa memastikan UU Pemajuan Kebudayaan dan UU Pariwisata berjalan beriringan menjadikan kebudayaan sebagai landasan filosofis.
Dalam membangunkan gagasan Kebudayaan, sektor pariwisata harusnya ditempatkan menjadi bonus. Bicara pariwisata, kini atraksi seni dan budaya hanya jadi barang dagangan yang jadi keperluan untuk dijual. Tidak menjadi bagian dari kehidupan. Tidak “hidup”.
Maka, saatnya ada instrumen negara yang memikirkan bagaimana mendulang nilai-nilai filosofis dari narasi sejarah masyarakat setempat. Nilai-nilai sosial yang kemudian diperhatikan dalam merumuskan kebijakan berdasarkan cerita-cerita lama dan ritual-ritual lama.
Tradisi lisan, sepertinya menjadi bagian yang mengalir bersama aliran darah orang-orang di Kepulauan Indonesia. Hampir seluruh tutur lisan di Kepulauan Indonesia, leluhurnya bermula di laut. Memahami mitos secara simbolik, bahwa Nasionalisme kita berdasar pada tanah air.
Memasuki zaman di mana gagasan bangsa dan kebangsaan mulai ramai diperbincangkan, Indonesia sudah sepatutnya mendasarkan gagasan kebudayaannya dalam konsep Tanah dan Air; Samudra.
Samudra sendiri berakar dari kata Sam dan Mudra. Sam artinya kesatuan; totalitas, dan mudra adalah keselarasan empat unsur yang ada pada diri manusia dengan empat unsur semesta. Samudra adalah totalitas keselarasan alam raya.
Inilah akar tradisi Bangsa Indonesia: Keselarasan Alam Raya. Dan satu-satunya jalan yang mengarah ke sana, adalah jalan kebudayaan, yang berpedoman pada AKAL BUDI sebagai suluh benderang dalam kita punya negeri. *
Artikel ini perna tayang di https://radarbali.jawapos.com/opini/704968792/jalan-kita-jalan-kebudayan