idekita.id // Penanganan laporan dugaan mafia tanah dan illegal logging yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kota Kupang , Kabupaten Kupang dan Sabu Raijua dinilai tertutup dan berpotensi bias dari konteks pengaduan masyarakat terkait praktek dugaan mafia tanah dan illegal logging yang terjadi pada tanah Kementerian Kehutanan (APL) Manutapen dan Nunbaun Delha Kecamatan Alak, Kota Kupang.
Hal tersebut disampaikan oleh perwakilan Forum Masyarakat Anti Mafia Tanah, Bartho Asalau menyikapi tindak lanjut pemerintah provinsi NTT menyikapi laporan Forum Masyarakat Anti Mafia Tanah pada Gubernur NTT melalui Meja Rakyat pada 15 April 2025 lalu.
” Sebagai pelapor, kami tidak dilibatkan dalam rapat yang dilakukan Dinas Kehutanan Provinsi NTT Bersama para terlapor, camat, lurah , dan sejumlah instansi teknis lainnya pada tanggal 30 April 2025 di kantor Camat Alak perihal laporan yang kami layangkan”.
“Kalau konteksnya adalah rapat untuk pemetaan persoalan, kenapa kami tidak dilibatkan sementara para pihak terlapor seperti camat , oknum petugas kehutanan dan perwakilan oknum yang mengklaim dan menjual tanah Negara justru dilibatkan pada pertemuan itu, Terangnya.
Selain tidak diikutsertakan dalam rapat yang membahas perihal laporan kelompoknya, Ia pun menyesalkan rencana tindak lanjut yang terkesan berpotensi bias dari substansi pengaduan terkait praktek dugaan mafia tanah dan illegal logging.
” Rencana tidak lanjut pertemuan tanggal 30 kemarin kami dapati informasi akan dilakukan detailing peta lokasi tanah negara bekas kawasan hutan pada tanggal 3 Mei 2025 mendatang. Selain kami tidak diundang dalam rencana kegiatan itu, kami dapati ada kesan upaya membuat bias substansi dari pengaduan kami”.
Kenapa demikian, pertama kami tidak pernah besengketa tanah dengan siapapun. Yang kami adukan adalah praktek mafia tanah dalam bentuk jual beli tanah Negara dan pungutan liar terhadap masyarakat yang dilakukan oknum-oknum yang mengklaim diri sebagai pemilik tanah tanpa dasar kepemilikan yang jelas secara hukum.
“Penggunaan diksi sengketa tanah pada surat UPTD. KPH seolah-olah memposisikan kami sebagai para pihak yang bersengketa. Padahal kami sebagai pelopor menggunakan hak konstitusional kami untuk melindungi aset Negara yang tengah dirampas secara ilegal untuk keperluan keuntungan pribadi dan kelompok tertentu”. Jelasnya.
Kedua, bagaimana mungkin upaya penyelesaian masalah yang kami ajukan dapat diselesaikan secara objektif sementara para pihak terlapor dugaan mafia tanah justru mendapatkan porsi komunikasi lebih dalam rencana pemetaan kawasan yang sementara dilakukan UPD KPH.
Ketiga, praktek dugaan illegal logging pada tanah bekas kawasan hutan disebutkan hanya dua pohon jati pada suarat tersebut, padahal dalam surat yang kami adukan sudah ratusan pohon jati ditebang dan tidak jelas keberadaannya.
Atas persoalan tersebut, Asalau yang juga merupakan Ketua Karang Taruna Kelurahan Nunbaun Delha tersbut meminta Gubernur NTT untuk dapat melakukan beberapa hal.
Atas persoalan dia atas kami meminta kepada Pak Gubernur untuk dapat melakukan beberpa hal, pertama, kami minta pak Gubernur untuk berkoordinasi dengan Walikota Kupang untuk segera menonaktifkan Camat Alak, terutama keterlibatannya dalam mengurai persoalan yang punya irisan konflik kepentingan dirinya sebagai pihak terlapor.
Kedua, Kami meminta Gubernur NTT untuk dapat mengevaluasi pola kerja UPTD. KPH yang kami nilai tertutup dan terkesan membuat bias masalah yang kami adukan.
Ketiga, Kami meminta Gubernur NTT untuk dapat segera membentuk tim kajian yang represtantif dan terbuka dalam menindak lanjuti rekomendasi keputusan Menteri kehutanan nomor 357 tahun 2016.
Kami juga akan terus mendorong Aparat Penegak Hukum dalam hal ini Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah NTT untuk sesegera mungkin melakukan tindak lanjut atas laporan pidana dugaan mafia tanah dan illegal logging yang sudah kami laporkan pada 15 April lalu, tutupnya.
ClaraMahardika